*Tanya*

Assalaamu’alaikum Ustadz…

Ana pernah baca dalam kitab Fiqh Manhaji ‘ala mazhab Imam Syafi’i dikitab tsb disebutkan bahwa,
أن محل النية القلب، ويسن التلفظ بها باللسان.
(Bab thaharah-wudhu’)
akan tetapi tidak disertakan hadist tentang perintahnya,maupun lafadz yang dicontohkan.
Apakah ada hadist shahih ttg sunnah melafadzkan niat wudhu’ ?
Sedangkan di bab lain ana temukan bahwa setiap kali berbicara ttg niat, penulis selalu menyebutkan bahwa niat tempatnya didalam hati, tidak disebutkan ttg sunnah dalam melafadzkannya.
Jazaakallahu khayran

*Jawaban*
بــسم اللّٰـه
وعليكم السلام ورحمة الله وبركاته

*Seputar Melafalkan Niat*

Ulama sendiri sebenarnya berbeda pendapat ttg hukum melafalkan niat. Setidaknya ada 3 pendapat ulama dalam hal ini sebagaimana dipaparkan Syaikhul Islâm :

1⃣ Sejumlah ulama dari pengikut Abû Hanifah, Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal berpandangan dianjurkannya melafalkan niat. Mereka berdalil dengan keumuman hadits Nabî yang melafalkan niat saat talbiyah umroh dan haji. Mereka menganalogkan (qiyas) dengan ibadah² lainnya.
Selain itu mereka juga berdalil dengan dalil aqli (rasio), bahwa hati dan lisan itu adalah 2 anggota tubuh. Karena itu berbarengnya 2 anggota tubuh dalam ibadah adalah lebih utama daripada hanya 1 anggota tubuh saja.

2⃣ Sejumlah ulama Malikiyah berpendapat bahwa melafalkan niat itu hanya menyelisihi keutamaan saja (khilaful aula). Kecuali jika dalam kondisi was-was, maka dianjurkan utk melafalkan niat agar lebih mantap dan was- was nya hilang.

3⃣ Sejumlah sahabat Mâlik dan Ahmad, berpandangan tidak dianjurkannya melafalkan niat.
Dan ini adalah pendapat yang lebih kuat (rajih).
Sebagaimana dinyatakan Syaikhul Islâm Ibnu Taimiyah rahimahullâhu :

(وهذا القول أصح، بل التلفظ بالنية نقص في العقل والدين:
PENDAPAT ini adalah yang paling TEPAT. Bahkan melafalkan niat itu bentuk kekurangan dalam akal dan agama.
أما في الدين، فلأنه بدعة.
Kekurangan di dalam agama karena hal ini (melafalkan niat) termasuk bid’ah.

وأما في العقل: فلأن هذا بمنزلة من يريد أكل الطعام، فقال: أنوي بوضع يدي في هذا الإناء أنَّي آخذ منه لقمة فأضعها في فمي فأمضغها، ثم أبلعها لأشبع، فهذا حمق وجهل.
Adapun kurang secara akal adalah, kondisi orang yang melafalkan niat itu serupa dengan orang yang mau makan lalu ia berucap : “saya berniat meletakkan tangan saya di atas wadah makanan ini, lalu saya mengambil sesuap nasi dan saya taruh di mulut saya kemudian saya kunyah, lalu saya telan sampai saya kenyang. Tentu saja ini merupakan kebodohan dan kedunguan.

وذلك أن النية تتبع العلم، فمتى علم العبد ما يفعل كان قد نواه ضرورة، فلا يتصور مع وجود العلم به أن لا تحصل نية)
Yang demikian ini lantaran niat itu mengikuti pengetahuan. Kapan saja seseorang mengetahui apa yang dilakukannya maka otomatis dia telah berniat. Tidak bisa dideskripsikan apabila suatu yang sudah diketahui namun tidak ada niatnya.
(Dinukil dari link fatwa.islamweb)

Selain itu juga ada beberapa catatan yang perlu saya sampaikan :

➖Ibadah itu bersifat _tauqifiyah_ (baku). Tidak boleh ditetapkan kecuali dengan dalil Al-Qur’ân dan Sunnah Shahihah. Karena itu, apabila tidak ada dalil, maka tidak boleh ditetapkan.
Ulama menjelaskan :

إن الأصل في العبادات التوقيف، فلا يشرع منها إلا ما شرعه الله
Sesungguhnya hukum asal ibadah itu _tauqif_ (baku). Maka tidaklah disyariatkan sesuatu darinya melainkan yang Allâh syari’at kan.
Ingat, Nabî hanya melafalkan niat pada talbiyah haji dan umroh saja. Maka talafuzh (melafalkan) niat pada ibadah tersebut saja yang disunnahkan.
Nabi pun sholat, wudhu, dll, sedangkan tidak ada dalil yang sampai kepada kita yang menunjukkan bahwa beliau dan juga sahabat beliau melafalkan niat sebelum sholat, wudhu, dll.
➖Yang tepat adalah لا قياس في العبادات (Tidak berlaku qiyas dalam hal ibadah). Karena ibadah seperti sholat, wudhu, zakat, dll tidak bisa diketahui ‘illatnya.
Para ulama mengatakan :

الأصل في العبادات عدم التعليل
Hukum asal ibadah adalah tidak bisa diketahui illatnya.
Sedangkan syarat qiyas itu adalah harus ada illat,

sehingga sesuatu yang tidak diketahui illat nya maka tidak bisa diqiyaskan.
Karena itu tidak berlaku qiyas pada haji dan umroh, diterapkan pada ibadah lainnya.

Catatan Tambahan :

Sebenarnya dalam masalah talafuzh (melafalkan) niat ini ada 3 kubu :
1. Yang mewajibkan, dan ini pendapat muta’akhkhirin Syafi’iyah. Pewajiban mereka ini tidak ada dalilnya. Karena itu menetapkan sesuatu itu wajib, haruslah disertai dengan dalil yang terang lagi jelas.
2. Yang menganggapnya _mustahab_ (dianjurkan). Ini pendapat jumhur Syafi’iyah dan beberapa madzhab. Namun juga tidak disokong dengan dalil yang kuat.
3. Yang menganggapnya bid’ah, karena semua ibadah atau amalan yang dianggap penyerta ibadah apabila tidak ada dalilnya, maka termasuk bid’ah. Dan ini adalah pendapat yang lebih kuat.

Jika ada yang mengatakan : Kalo ini bid’ah, kenapa ulama madzhab diantaranya Syafi’iyah mengatakan sunnah bahkan wajib ?
Maka kita jawab :
➖Agama berdiri di atas dalil, dan dalil itu hanyalah Al-Qur’ân dan Sunnah yg shahih saja, serta Ijma’ Sahabat.
➖Pendapat ulama, setinggi apapun kalibernya, maka tidak ma’shum, bisa salah bisa benar. Karena itu pendapat mereka bisa diterima bisa ditolak.

أقوال العلماء ليسو بالدليل وكلامهم يستدل لها لا بها
Ucapan ulama itu bukanlah dalil, perkataan mereka hanyalah penyokong dalil bukanlah dalil itu sendiri.
➖Karena itu, para imam yang empat semuanya bersepakat untuk mengikuti hadits yang shahih atau dalil yang kuat, dan meninggalkan pendapat mereka apabila menyelisihi dalil.

Jika ada yang mengatakan : “Kalo begitu ini masalah _khilafiyah_, ga usah diperdebatkan dan dipermasalahkan”

Tanggapan saya :

➖Kita dituntut untuk menelaah dan mencari kebenaran, dan mencari kebenaran itu haruslah dari sumber kebenaran itu sendiri, yaitu Al-Qur’an dan Sunnah. Tidak hanya berhenti dan taqlid kepada pendapat ulama saja *tanpa mengetahui dalilnya*. Seakan² jika ini disebutkan ulama Fulan, maka ini khilafiyah. Selesai masalah.
➖Khilafiyah itu sendiri ada 2 macam :
▪️Khilaf Tanawwu’ (perbedaan ragam) dimana tiap ragam ada dalilnya yang kuat dan tidak saling kontradiksi. Seperti sifat adzan, doa istiftah, doa ruku, doa sujud, takbiratul ied, dll.
Ini semua perbedaan ragam yang tidak boleh ada pengingkaran.
▪️Khilaf tadhod (perbedaan yang kontradiktif), dimana satu dengan lainnya sama² berpendapat dan membawa dalil, namun saling kontradiksi.
Dalam hal ini berlaku kaidah المصيب واحد (yang benar hanya satu).
Contohnya misal khilaf dalam hal posisi I’tidål apakah sedekap atau tidak, sujud saat sholat apakah lutut dulu atau tangan, dst.
Ini butuh _tarjih_ (dipilih mana yang kuat, tidak boleh dilaksanakan berbarengan).
Khilaf tadhod ini ada 2 macam :
?️khilaf qowî, dimana kedua pendapat dikatakan sama kuat atau sudah ada salafnya dalam perbedaan ini. Maka tidak boleh ada pengingkaran dan tarjih tanpa vonis.
Ini disebut dengan khilaf mu’tabar (diakui).
?️ khilaf dho’if, dimana yang satu disokong dalil yang kuat, yang satu tidak. Maka ini harus ada pengingkaran, tarjih dan bantahan. Serta yang bersikukuh berpegang dengan yang lemah boleh divonis setelah diskusi dan penegakan hujjah.
Misal masalah nikah mut’ah, musik, jabat tangan non mahram, dll
(khilâf ghoyr mu’tabar)
➖Kita dididik untuk kritis dan selalu berpegang dengan dalil. Saat ada khilâfiyah, maka kita berusaha menelaah itu mencari dalil paling kuat, lalu itu yang kita pegang. Bukan malah kita berdalil (baca : berdalih) dengan khilâfiyah untuk melegitimasi suatu amalan yang tidak ada landasannya.
Dan metode seperti ini, termasuk seperti yang disebutkan ulama dengan _tatabbu’ ar-rukhash_ (mencari² pendapat yang paling ringan).
Imam adz-Dzahabi mengatakan :

ومن تتبع رخص المذاهب وزلات المجتهدين فقد رَقّ دينه
Barangsiapa yang mencari² pendapat madzhab paling ringan dan ketergelinciran ulama mujtahid, maka sungguh ia telah merobek agamanya.

Wallâhu a’lam bish showaab

✏️ @abu salma

Join channel kami di:
?telegram: telegram.me/masjidalmuslimun

▶️   Link referensi :
*http://fatwa.islamweb.net/fatwa/index.php?page=showfatwa&Option=FatwaId&Id=11235*

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *