“Kondisi Langit gelap ni, kayaknya akan hujan, jadi berangkat ngaji gk ya?”

“Wah udah rintik-rintik (senyum bahagia), moga kajian diliburkan”

“Yah, malah gak jadi hujan (melipat muka)”

“Hari ini panas sekali, belum jalan macet, ragu mw berngkat kajian”

“Sebenarnya jalan kaki sampai, jaraknya gak jauh kok. Cuma ngajinya mending minggu depan aja dah, nunggu motor selesai diservis”

Hari ini kesungguhan penuntut ilmu terancam punah. Bayangkan, kendala sepele seperti diatas saja mampu mengkandaskan niat ber tholabul ilmi, padahal sekedar menghadiri kajian rutin, tapi pertimbangannya tak terhitung.

Elit sekali !!
Harus menemukan kondisi yang nyaman dulu baru ngaji,

Sepertinya kita butuh membuka mata, agar dapat melihat kesungguhan para ulama, bagaimana mereka menerjang badai kebodohan dan menaklukkan jarak yg jauh dengan berjalan kaki.

Yusuf bin Ahmad As Syairoziy berkisah dalam kitab “Arba’in Al Buldan”, seputar sepak terjang pencari ilmu sesungguhnya:

“(Dahulu) Ketika aku sedang dalam perjalanan mencari guru, tujuan pertamaku adalah mengembara. Namun (sepertinya) zaman enggan melihat perjalananku sia-sia. Hingga Allah takdirkan diriku bertemu dengan orang ‘alim di kota Kerman. Sehingga berubahlah haluan niatku.

(Diawal pertemuan itu) aku ucapankan salam kepadanya terlebih dahulu, mencium keningnya lalu duduk di hadapannya.

Spontan Ia menanyaiku: “Apa gerangan yg membuatmu singgah di kota ini?”

Aku pun menjawab: “Maksud kedatanganku adalah pertemuanmu, aku ingin menjadi muridmu. Ini, aku bawa catat kecilku siap berguru kepadamu. Dan aku menyengaja sampai di tempat ini dengan berjalan kaki supaya bisa meraih keberkahan ilmumu dan sanadmu yang tinggi”

“Semoga Allah memberimu dan juga kepada kami taufikNya, Menjadikan tujuan dan jalan yg kita tempuh ikhlas karenaNya. Kiranya kau tahu diriku sebenarnya niscaya kau tidak akan sudi menghadiahkan untukku ucapan salam dan duduk seperti ini.” Sahut sang guru merendah.

Kemudian ia menangis terisak-isak membuat orang-orang di sekitarnya ikut menguraikan air mata.

Dan berdo’a:
“Ya Allah Tutuplah aib-aib kami dengan kain penutup terbaik, dan anugrahi kami petunjuk menuju ridhaMu.”

Lalu sang guru teringat kenangan indahnya semasa mencari ilmu dan bercerita :
“Wahai anakku (menyapa muridnya)! Dulu aku juga berpergian sepertimu demi menyimak hadits dari Kitab As Shahih, berjalan kaki bareng ayahku dari kota Herat menuju Dawoudi di Busang, sedang umurku belum genap 10 tahun.

Dan kebiasaan ayahku, selalu membekaliku dua bongkahan batu dan berpesan agar aku senantiasa membawanya. Ayah adalah orang yg aku segani maka aku bersungguh-sungguh menggenggam keduanya selama perjalanan

Ketika ia tahu bahwa kondisi jalanku mulai sempoyongan, ia menyuruhku agar membuang satu batu sehingga bebanku berkurang.

Tiap kali aku terlihat letih. Beliau selalu bertanya, “Kamu sudah merasa capek?”.
Dengan segan aku katakan, “Belum”.
Lantas beliau menimpali, “(jika belum) kenapa jalanmu melambat?”

Sampai beberapa jam setelah berjalan, aku merasa benar-benar capek dan tidak kuasa lagi meneruskan, ayahku mengetahui hal itu, ia pun segera mengambil batu yg tersisa dalam genggamanku dan membuangnya.

Ini pembuktian dariku, aku paksakan diri agar tetap melanjutkan perjalanan. Hingga akhirnya aku sampai pada titik nadir dari kekuatanku. Tubuhku tak lagi berkutik saking capeknya, hampir-hampir tersungkur pingsan.

Karena belum sampai di tempat tujuan, ayahku rela memanggulku diatas pundaknya dan melanjutkan perjalanan yg tersisa.

Kemudian kami berjumpa dengan sejumlah pekebun, mereka merasa iba terhadap kami dan menawarkan bantuan, “Wahai Syaikh Isa, bawa kemari anak anda, kami akan menghantarkannya dengan tunggangan kami”

Ayahku pun menyanggah mereka, “Hanya Allah tempat kami berlindung, tidak mungkin kami memilih berkendaraan tatkala mencari hadits, kami memang harus berjalan kaki.

Demikian itu kami lakukan karena besarnya penghormatan kami terhadap hadist-hadits Rosulullah dan harapan kami terahadap pahala yg melimpah.” (Siyar A’lam An Nubala’ 20/307-308)

? Saudaraku ?

?Itulah perjuangan mereka, mana perjuanganmu??
?Mereka berjalan kaki karena pilihan lho. Bukan terpaksa, Bahkan sampai menolak tunggangan.
?Adapun kita berjalan karana faktor keadaan “terpaksa, gak ada pilihan lain”.

? Saudaraku ?
?Mungkin inilah jawaban dari pertanyaan, kenapa seseorang lebih memilih tidak berangkat kajian ketika tidak ada kendaraan, sekalipun dekat.
?Yah, karena surutnya kesungguhan dan pasangnya kemalasan.

Boleh Share !!!

Allahul musta’an wa ‘alaihi tuklan

Wisma Cinta Sedekah, Ragunan.
Senin, 19 Muharram 1439

✍ Fachrurozi
Mahsiswa Lipia Progam Takmili

Join channel kami di:
?telegram: telegram.me/masjidalmuslimun
?website: www.masjidalmuslimun.org
? YouTube: youtube.com/masjidalmuslimun

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *