?Suatu hari sahabat Ibnu Abbas berceramah, -menurut sebagian ulama’- dalam rangka meredam gejolak masyarakat yang hendak memberontak kepada penguasa kala itu. Beliau berceramah sejak ba’da sholat Asar, hingga matahari terbenam, dan bintang bintang mulai terbit.

?Sebagian orang mulai gelisah dan berkata: ayo dirikan sholat, ayo dirikan sholat. DItengah kegelisahan itu , ada seorang laki laki dari Bani Tamim yang tanpa ragu dan sungkan sedikitpun menghampiri Ibnu Abbas , lalu berkata kepada beliau: ayo dirikan sholat , ayo dirikan sholat .

?Mendapat perlakuan yang kurang santun dari lelaki itu, Sahabat Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu berkata:

أَتُعَلِّمُنِى بِالسُّنَّةِ لاَ أُمَّ لَكَ. ثُمَّ قَالَ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- جَمَعَ بَيْنَ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ وَالْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ.

?Apakah engkau hendak mengajariku tentang sunnah? Sungguh aku pernah menyaksikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di kota Madinah menjama’ shalat Zuhur dengan Asar dan sholat Maghrib dengan Isya’. (Muslim dll)

?Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma menjama’ sholat karena ada urusan penting bahkan genting, yaitu berusaha meredam gejolak masyarakat yang hendak melakukan pemberontakan. Bila ceramah beliau ditunda dikawatirkan kehilangan momentum, dan masyarakat nekad melakukan perlawanan atau pemberontakan. Demi mencegah terjadinya kekacauan yang besar beliau berencana menjama’ ta’khir sholat Maghrib dan Isya’.

?Demikianlah syari’at Islam, dalam kondisi kondisi tertentu, diajarkan melakukan sikap semacam ini, sesuai dengan kaedah “kewajiban mengedepankan maslahat yang lebih besar atau mencegah kerusakan yang lebih besar”.

?Namun demikian, penerapan kaedah ini tentu tidak sembarangan, haruslah dilakukan dengan pertimbangan matang dan oleh orang yang memiliki kapasitas keilmuan yang cukup.

?Kisah di atas, adalah contoh bagaimana “pendekar turun dari gunung” orang orang yang kata orang tua “durung gaduk kuping” yang sekilas nampak kokoh di atas sunnah, lantang menyuarakan kebenaran, dan istiqamah, namun sebenarnya ia gagal paham dan dangkal nalarnya.

?Berbeda dengan ulama’ yang telah matang keilmuannya, mampu bersikap tepat pada waktu dan kondisi yang tepat, karena itu tidak seorang ulama’pun yang mencela atau mengkritisi sikap Ibnu Abbas radhiallallah ‘anhu di atas.

?Karena itu, kalau anda gagal paham terhadap sikap ulama’ atau pendapat ulama’ yang lebih matang keilmuannya dibanding anda, jangan buru buru, bertanyalah dengan santun, bukan asal sruduk kayak banteng.

Wallahu a’alam bisshowab.

Via: Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri Hafidzahullahu ta’ala.

Dari akun : Ustadz Abu Yahya Badrusalam Lc Hafidzahullahu ta’ala

Join channel kami di:
?telegram: telegram.me/masjidalmuslimun
?www.masjidalmuslimun.org
?YouTube: youtube.com/masjidalmuslimun

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *