Perkara yang harus diperhatikan dan dilakukan agar dapat mengambil faidah dari majelis ilmu ialah :
- Ikhlas.
Hendaklah kepergian dan duduknya seorang penuntut ilmu ke majelis ilmu, hanya karena Allah semata. Tanpa disertai riya’ dan keinginan dipuji orang lain. Seorang penuntut ilmu hendaklah bermujahadah dalam meluruskan niatnya. Karena ia akan mendapatkan kesulitan dan kelelahan dalam meluruskan niatnya tersebut. Oleh karena itu Imam Sufyan Ats Tsauri berkata,“Saya tidak merasa susah dalam meluruskan sesuatu melebihi niat.”[2] - Bersemangat Menghadiri Majelis Ilmu.
Kesungguhan dan semangat yang tinggi dalam menghadiri majelis ilmu tanpa mengenal lelah dan kebosanan sangat diperlukan sekali. Janganlah merasa cukup dengan menghitung banyaknya. Akan tetapi hitunglah berapa besar dan banyaknya kebodohan kita. Karena kebodohan sangat banyak, sedangkan ilmu yang kita miliki hanya sedikit sekali.
Lihatlah kesemangatan para ulama terdahulu dalam menghadiri majelis ilmu. Abul Abbas Tsa’lab, seorang ulama nahwu berkomentar tentang Ibrahim Al Harbi,“Saya tidak pernah kehilangan Ibrahim Al Harbi dalam majelis pelajaran nahwu atau bahasa selama lima puluh tahun”.
Lantas apa yang diperoleh Ibrahim Al Harbi? Akhirnya beliau menjadi ulama besar dunia. Ingatlah, ilmu tidak didapatkan seperti harta waris. Akan tetapi dengan kesungguhan dan kesabaran.
Alangkah indahnya ungkapan Imam Ahmad bin Hambal,“Ilmu adalah karunia yang diberikan Allah kepada orang yang disukainya. Tidak ada seorangpun yang mendapatkannya karena keturunan. Seandainya didapat dengan keturunan, tentulah orang yang paling berhak ialah ahli bait Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ”. Demikian juga Imam Malik, ketika melihat anaknya yang bernama Yahya keluar dari rumahnya bermain,“Alhamdulillah, Dzat yang tidak menjadikan ilmu ini seperti harta waris”.
Abul Hasan Al Karkhi berkata,“Saya hadir di majelis Abu Khazim pada hari Jum’at walaupun tidak ada pelajaran, agar tidak terputus kebiasanku menghadirinya”.
Lihatlah semangat mereka dalam mencari ilmu dan menghadiri majelis ilmu. Sampai akhirnya mereka mendapatkan hasil yang menakjubkan.
- Bersegera Datang Ke Majelis Ilmu Dan Tidak Terlambat, Bahkan Harus Mendahuluinya Dari Selainnya.
Seseorang bila terbiasa bersegera dalam menghadiri majelis ilmu, maka akan mendapatkan faidah yang sangat banyak. Sehingga Asysya’bi ketika ditanya,“Dari mana engkau mendapatkan ilmu ini semua?”, ia menjawab,“Tidak bergantung kepada orang lain. Bepergian ke negeri-negeri dan sabar seperti sabarnya keledai, serta bersegera seperti bersegeranya elang”.[3]
- Mencari Dan Berusaha Mendapatkan Pelajaran Yang Ada Di Majelis Ilmu Yang Tidak Dapat Dihadirinya.
Terkadang seseorang tidak dapat menghadiri satu majelis ilmu karena alasan tertentu. Seperti : sakit dan yang lainnya. Sehingga tidak dapat memahami pelajaran yang ada dalam majelis tersebut. Dalam keadaan seperti ini hendaklah ia mencari dan berusaha mendapatkan pelajaran yang terlewatkan itu. Karena sifat pelajaran itu seperti rangkaian. Jika hilang darinya satu bagian, maka dapat mengganggu yang lainnya.
- Mencatat Fidah-Faidah Yang Didapatkan Dari Kitab.
Mencatat faidah pelajaran dalam kitab tersebut atau dalam buku tulis khusus. Faidah-faidah ini akan bermanfaat jika dibaca ulang dan dicatat dalam mempersiapkan materi mengajar, ceramah dan menjawab permasalahan. Oleh karena itu sebagian ahli ilmu menasihati kita. Jika membeli sebuah buku, agar tidak memasukkannya ke perpustakaan. Kecuali setelah melihat kitab secara umum. Caranya dengan mengenal penulis. Pokok bahasan yang terkandung dalam kitab dengan melihat daftar isi dan membuku-buka sesuai dengan kecukupan waktu sebagian pokok bahasan kitab.
- Tenang Dan Tidak Sibuk Sendiri Dalam Majelis Ilmu.
Ini termasuk adab yang penting dalam majelis ilmu. Imam Adz Dzahabi menyampaikan kisah Ahmad bin Sinan, ketika beliau berkata,“Tidak ada seorangpun yang bercakap-cakap di majelis Abdurrahman bin Mahdi. Pena tak bersuara. Tidak ada yang bangkit. Seakan-akan di kepala mereka ada burung atau seakan-akan mereka berada dalam shalat” [4]. Dan dalam riwayat yang lain,“Jika beliau melihat seseorang dari mereka tersenyum atau berbicara, maka dia mengenakan sandalnya dan keluar”.[5]
- Tidak Boleh Berputus Asa.
Terkadang sebagian kita telah hadir di suatu majelis ilmu dalam waktu yang lama. Akan tetapi tidak dapat memahaminya kecuali sedikit sekali. Lalu timbul dalam diri kita perasaan putus asa dan tidak mau lagi duduk disana. Tentunya hal ini tidak boleh terjadi. Karena telah dimaklumi, bahwa akal dan kecerdasan setiap orang berbeda. Kecerdasan tersebut akan bertambah dan berkembang karena dibiasakan. Semakin sering seseorang membiasakan dirinya, maka semakin kuat dan baik kemampuannya. Lihatlah kesabaran dan keteguhan para ulama dalam menuntut ilmu dan mencari jawaban satu permasalahan! Lihatlah apa yang dikatakan Syeikh Muhammad Al Amin Asy Syinqiti, “Ada satu masalah yang belum saya pahami. Lalu saya kembali ke rumah dan saya meneliti dan terus meneliti. Sedangkan pembantuku meletakkan lampu atau lilin di atas kepala saya. Saya terus meneliti dan minum the hijau sampai lewat 3/4 hari, sampai terbit fajar hari itu”. Kemudian beliau berkata,“Lalu terpecahlah problem tersebut”.
Lihatlah bagaimana beliau menghabiskan harinya dengan meneliti satu permasalahan yang belum jelas baginya.
- Jangan Memotong Pembicaraan Guru Atau Penceramah.
Termasuk adab yang harus diperhatikan dalam majelis ilmu yaitu tidak memotong pembicaraan guru atau penceramah. Karena hal itu termasuk adab yang jelek. Rasulullah n mengajarkan kepada kita dengan sabdanya.
ليس منا من لم يجل كبيرنا و يرحم صغيرنا و يعرف لعالمنا حقه
Tidak termasuk golongan kami orang yang tidak menghormati yang lebih tua dan menyayangi yang lebih muda serta yang tidak mengerti hak ulama. [Riwayat Ahmad dan dishahihkan Al Albani dalam Shahih Al Jami’].
Imam Bukhari menulis di Shahihnya, bab Orang yang ditanya satu ilmu dalam keadaan sibuk berbicara, hendaknya menyempurnakan pembicaraannya. Kemudian menyampaikan hadits.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ بَيْنَمَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي مَجْلِسٍ يُحَدِّثُ الْقَوْمَ جَاءَهُ أَعْرَابِيٌّ فَقَالَ مَتَى السَّاعَةُ فَمَضَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُحَدِّثُ حَتَّى إِذَا قَضَى حَدِيثَهُ قَالَ أَيْنَ أُرَاهُ السَّائِلُ عَنْ السَّاعَةِ قَالَ هَا أَنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ فَإِذَا ضُيِّعَتْ الْأَمَانَةُ فَانْتَظِرْ السَّاعَةَ قَالَ كَيْفَ إِضَاعَتُهَا قَالَ إِذَا وُسِّدَ الْأَمْرُ إِلَى غَيْرِ أَهْلِهِ فَانْتَظِرْ السَّاعَةَ
Dari Abu Hurairah, beliau berkata,“Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berada di majelis menasihati kaum, datanglah seorang A’rabi dan bertanya,”Kapan hari kiamat?” (Tetapi) beliau terus saja berbicara sampai selesai. Lalu (beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam) bertanya,“Mana tampakkan kepadaku yang bertanya tentang hari kiamat?” Dia menjawab,”Saya, wahai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Lalu beliau berkata, “Jika amanah disia-siakan, maka tunggulah hari kiamat”. Dia bertanya lagi, “Bagaimana menyia-nyiakannya?” Beliau menjawab, “Jika satu perkara diberikan kepada bukan ahlinya, maka tunggulah hari kiamat”. [Riwayat Bukhari].
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits ini berpaling dan tidak memperhatikan penanya untuk mendidiknya.
- Beradab Dalam Bertanya.
Bertanya adalah kunci ilmu. Juga diperintahkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam firmanNya,
فَسْئَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لاَتَعْلَمُونَ
Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui. [An Nahl : 43].
Demikian pula Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan, bahwa obat kebodohan yaitu dengan bertanya, sebagaimana sabdanya,
أَلَا سَأَلُوا إِذْ لَمْ يَعْلَمُوا فَإِنَّمَا شِفَاءُ الْعِيِّ السُّؤَالُ
Seandainya mereka bertanya! Sesungguhnya obatnya kebodohan adalah bertanya. [Riwayat Abu Daud, Ibnu Majah, Ahmad dan Darimi dan dishahihkan Syeikh Salim Al Hilali dalam Tanqihul Ifadah Al Muntaqa Min Miftah Daris Sa’adah, hal. 174].
Imam Ibnul Qayim berkata,”Ilmu memiliki enam martabat. Yang pertama, baik dalam bertanya …… Ada di antara manusia yang tidak mendapatkan ilmu, karena tidak baik dalam bertanya. Adakalanya, karena tidak bertanya langsung. Atau bertanya tentang sesuatu, padahal ada yang lebih penting. Seperti bertanya sesuatu yang tidak merugi jika tidak tahu dan meninggalkan sesuatu yang mesti dia ketahui.”[6]
Demikian juga Al Khathib Al Baghdadi memberikan pernyataan,”Sepatutnyalah rasa malu tidak menghalangi seseorang dari bertanya tentang kejadian yang dialaminya.”[7]
Demikian sebagian faidah yang dapat diambil dari hadits ini. Mudah-mudahan bermanfaat.