Assalamu’alaikum, apa yang dimaksud dengan ilmu kalam atau ilmu filsafat? Bagaimana hukum mempelajarinya? Jazakumullohu khairan

Jawab:

Wa’alaikumussalam warohmatullah wabarokatuh. Ilmu kalam adalah ilmu yang membahas perkara tauhid dengan metodologi filsafat. Mempelajari ilmu kalam hukumnya harom karena membimbing orang kepada superioritas akal dalam beragama. Al-Qur’an was Sunnah diterjemahkan menurut akal dalam memahami keberadaan Allah, perbuatan-Nya, nama-nama-Nya serta sifat-sifat-Nya yang Mahasempurna. Inilah hakikat mendahulukan akal pikiran daripada dalil. Allah berfirman:

يا أيها الذين آمنوا لا تقدموا بين يدي الله ورسوله واتقوا الله إن الله سميع عليم

“Wahai orang-orang yang beriman janganlah kalian mendahului Allah dan Rosul-Nya, bertaqwalah kalian kepada Allah, karena sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Al-Hujurot: 1)

Terkait hal spesifikasi, ilmu kalam dan ilmu filsafat sangat tidak mungkin diintegrasikan dengan ilmu syariat. Apalagi sampai dijadikan acuan dalam beragama lantaran metodologinya berbeda antara satu dengan yang lainnya. Sebab itu Rosulullah shollallahu ‘alaihi wasallam telah menggariskan satu prinsip dalam metodologi berpikir seperti yang disebutkan oleh beliau dalam sabdanya:

وما أمرتكم به فأتوا منه ما استطعتم

“Apa yang aku perintahkan kepada kalian tentang suatu perkara, maka tunaikanlah semampu kalian.” (HR. Al-Bukhori dan Muslim)

Beliau shollallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda:

من عمل عملا ليس عليه أمرنا فهو رد

“Barangsiapa yang beramal dengan suatu amalan yang tidak bersumber dari ajaran kami, maka amalan itu tertolak.” (HR. Al-Bukhori dan Muslim)

Maka segala sesuatu yang tidak diajarkan oleh Rosulullah shollallahu ‘alaihi wasallam dalam perkara agama ini hukumnya tertolak, sesat, batil. Disebutkan dalam sebuah hadits:

من قال في القرآن برأيه فأصاب فقد أخطأ

“Barangsiapa yang menafsirkan Al-Qur’an dengan akal pikirannya semata meski hasilnya mencocoki kebenaran, maka dia telah salah (berdosa).” (Riwayat Ath-Thobari dalam “Jami’ul Bayan” 1/27)

Dikatakan berdosa karena metodologinya yang salah, sekalipun hasilnya ternyata mencocoki kebenaran. Kendati demikian, Islam tidak pula mengkarantina akal. Islam memposisikan akal pada tempatnya sehingga dapat berfungsi secara proporsional.

Para Ulama Salaf maupun para Ulama generasi setelahnya senantiasa mewanti-wanti kaum Muslimin dari mempelajari ilmu kalam karena bahayanya yang besar, yaitu merusak akal dan menghancurkan aqidah seseorang.

Al-Imam Asy-Syafii berkata, “Sungguh andaikata salah seorang ditimpa dengan berbagai amalan yang dilarang oleh Allah selain dosa syirik, maka itu lebih baik baginya daripada dia mempelajari ilmu kalam.” (Riwayat Abu Nu’aim Al-Asfahani dalam “Hilyatul Auliya’” 9/111)

Beliau juga berkata, “Andaisaja manusia menyadari bahaya yang ada pada ilmu kalam, niscaya dia akan lari darinya seperti larinya dia dari ancaman singa.”

Dan para Ulama telah berijma’ (sepakat) bahwa ahli ilmu kalam tidak tergolong Ulama yang menjadi rujukan. Al-Hafidzh Ibnu Abdil Barr Al-Maliki berkata, “Para Ulama ahli fiqh dan ahli hadits dari seluruh negeri telah berijma’ bahwa ahli ilmu kalam adalah ahli bid’ah yang menyimpang. Tidaklah mereka semua dianggap masuk deretan Ulama yang menjadi rujukan. Hanyalah para Ulama itu dari kalangan ahli fiqh dan ahli hadits.” (Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlih 2/942)

Demikian nasehat para Ulama agar menjauhi ilmu filsafat dan ilmu kalam, karena melalui pintu keduanya muncul bid’ah-bid’ah dalam beraqidah yang menyelisihi jalannya Salafussholih seperti yang dianut oleh kalangan Syiah, Thoriqot Shufiyyah, Mu’tazilah, Asy’ariyyah, Maturidiyyah dan kelompok-kelompok yang mengikuti jalan mereka, nas’alullaahas salaamah wal ‘aafiyah.
____

✍? Fikri Abul Hasan

Join channel kami di:
?telegram: telegram.me/masjidalmuslimun
?website: www.masjidalmuslimun.org
?YouTube: youtube.com/masjidalmuslimun

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *