‘Abdan berkata, aku mendengar Abdullah bin Al-Mubarok berkata:

الإسناد عندي من الدين ولو لا الإسناد لقال من شاء ما شاء

“Sanad itu bagiku bagian dari agama, jika tidak ada sanad, niscaya orang akan berkata semaunya.” (Shohih Muslim)

Sanad adalah silsilah atau urutan para perowi hadits. Berikut kami bawakan contoh sanad dari kitab “Al-Jami’ul Musnad Ash-Shohih Al-Mukhtashor Min Umuri Rosulillah Shollallahu ‘Alaihi Wasallam Wa Sunanihi Wa Ayyamih” atau yang dikenal dengan “Shohih Al-Bukhori”:

حدثنا يعقوب حدثنا إبراهيم بن سعد عن أبيه عن القاسم بن محمد عن عائشة رضي الله عنها قالت قال رسول الله صلى الله عليه وسلم

“Telah menceritakan kepada kami Ya’qub, telah menceritakan kepada kami Ibrohim bin Sa’d, dari bapaknya, dari Al-Qosim bin Muhammad, dari ‘Aisyah rodhiyallahu ‘anha, ia berkata bahwa Rosulullah shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

من أحدث في أمرنا هذا ما ليس فيه فهو رد

“Barangsiapa yang mengada-adakan perkara baru dalam ajaran kami ini yang bukan darinya maka tertolak.”

Periwayatan Al-Bukhori dari jalan Ya’qub sampai kepada Rosulullah shollallahu ‘alaihi wasallam ini yang disebut sanad. Kedudukan sanad ini sangat penting dalam ilmu hadits. Bilamana sanad diabaikan, maka orang akan seenaknya mencatut nama Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam. Melalui ilmu sanad ini juga seseorang akan mampu memilah antara hadits shohih (akurat), dho’if (lemah) dan mawdhu’ (palsu).

Kendati demikian, ada sebagian kalangan yang memahami pengertian sanad secara sempit, yaitu silsilah nasab (keturunan) semata yang sampai kepada Rosulullah shollallahu ‘alaihi wasallam tanpa menghiraukan sejauh mana keabsahan riwayatnya. Jelas ini seruan fanatik buta ala tarekat Shufiyyah dengan stempel “sanad”. Bahkan mereka berani mengklaim hanya pihaknya saja yang bersambung sanadnya sampai kepada Nabi, tentu ucapan seperti ini tidak dapat diterima.

Maka sesungguhnya yang menjadi patokan dalam beragama ini adalah sanad keilmuan. Sedangkan sanad keilmuan yang paling teruji nilai akurasinya adalah sanad keilmuan yang bersumber dari para Ulama Salaf Ahlussunnah Wal Jamaah. Mereka adalah “Al-Firqotun Najiyah Al-Manshuroh”. Ilmu dan pengamalan mereka mencocoki ilmu dan pengamalan Nabi dan para Shohabatnya.

Al-Imam Muhammad bin Sirin berkata:

لم يكونوا يسألون عن الإسناد فلما وقعت الفتنة قالوا سموا لنا رجالكم فينظر إلى أهل السنة فيؤخذ حديثهم وينظر إلى أهل البدع فلا يؤخذ حديثهم

“Dahulu para Ulama tidak pernah bertanya tentang sanad, akan tetapi setelah terjadi fitnah (kedustaan dan pemalsuan sejarah, -pent) mereka seleksi, “Sebutkanlah pada kami rijal (para perowi) kalian, apabila dari kalangan Ahlussunnah maka diterima haditsnya, namun jika dari kalangan ahlul bid’ah maka tidak diterima.” (Shohih Muslim)

Al-Imam Malik bin Anas berkata, “Tidak boleh seseorang mengambil ilmu dari empat model manusia:

1. Ilmu tidak diambil dari orang-orang bodoh.
2. Tidak diambil dari pengekor hawa nafsu yang menyeru manusia kepada hawa nafsunya.
3. Tidak pula dari seorang pendusta yang biasa berdusta dalam pembicaraan-pembicaraan manusia meskipun tidak tertuduh berdusta dalam meriwayatkan hadits.
4. Tidak pula dari seorang Syaikh yang memiliki keutamaan, kesholihan serta ahli ibadah tetapi dia tidak paham apa yang diucapkannya.” (An-Nubadz fi Adab Tholabil ‘Ilmi hal. 22-23)

Yakni belajar ilmu agama ini tidak boleh dari orang yang jahil, ahlul bid’ah, pendusta atau ahli ibadah namun tidak faqih (cakap pemahamannya). Karena para Ulama telah berijma’ bahwa, “Imu ini adalah agama maka perhatikanlah dari siapa engkau mengambil agamamu.” Sedangkan menerima kebenaran bisa dari siapa saja selama dapat dipastikan secara ilmiyyah kebenarannya.

✍️ Fikri Abul Hasan

Join channel kami di:
?telegram: telegram.me/masjidalmuslimun
?website: www.masjidalmuslimun.org
?YouTube: youtube.com/masjidalmuslimun

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *