Bismillah mohon Ustadz dijelaskan musuh-musuh ilmu? Karena seringnya kami mengalami kesulitan untuk memahami ilmu? Adakah kiat lain yang bisa dilakukan selain muroja’ah dan berdoa agar mudah memahami ilmu?Jawab: Di antara musuh-musuh ilmu dan perusak-perusaknya yang disebutkan oleh para Ulama di antaranya adalah kelalaian. Ini menjadi penghalang terbesar bagi tholabatul ‘ilmi dalam memahami ilmu yang dipelajarinya. Allah berfirman, “Janganlah engkau termasuk orang-orang yang lalai.” (Al-A’rof: 205)
Sedangkan lawannya kelalaian adalah kesungguhan dan kesabaran. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Bersemangatlah dalam hal yang bermanfaat bagimu, minta tolonglah pada Allah dan jangan merasa lemah.” (HR. Muslim 2664)
Oleh sebab itu kita dapati para Ulama Salaf dahulu ada yang mempelajari kitab “Shahih Al-Bukhari” hanya beberapa malam seperti Al-Khothib Al-Baghdadi yang mulai mengkajinya sejak Maghrib sampai Shubuh. Di antara Ulama juga ada yang menghabiskan waktunya dalam sehari untuk mempelajari 12 bab ilmu yang berbeda seperti Al-Imam An-Nawawi. Bahkan ada Ulama yang sampai buta dan kencing darah lantaran ilmu yang dituntutnya. Berkat kesungguhan dan pengorbanannya, Allah anugerahkan pemahaman kepada para Ulama dan keshalihan dalam beramal.
Syaikh Al-‘Allamah Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i menasehatkan, “Wahai anak-anakku, seandainya ilmu bisa dituang ke dalam gelas, niscaya akan kutuangkan untuk kalian. Akan tetapi ilmu ini mustahil diperoleh kecuali dengan kerja keras dan penuh pengorbanan. Dan Yahya bin Abi Katsir berkata kepada anaknya, “Ilmu tidak akan dicapai dengan badan yang santai.” (Nubdzah Mukhtashoroh hal. 44)
Kemudian perusak berikutnya adalah perasaan ‘ujub (merasa besar diri). Ibnul Qoyyim berkata, “Tak ada suatu perkara yang lebih merusak amalan daripada ‘ujub dan berlebihan memandang jasa diri.” (Al-Fawa’id hal. 147)
Perasaan ‘ujub yang bercokol dalam hati akan merusak keikhlasan sehingga ilmu yang dipelajarinya tidak barokah dan akibatnya dia akan mengalami kesulitan dalam pemahaman. Sedangkan lawan dari sifat ‘ujub ini adalah tawadhu’ (rendah hati). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Tidaklah seseorang tawadhu’ (rendah hati) karena Allah, melainkan Allah akan angkat derajatnya.” (HR. Malik 1885, Ahmad 8782, Muslim 2588, At-Tirmidzi 2029, Ad-Darimi 1676)
Ibnu Rojab Al-Hanbali, “Pertanda ilmu yang bermanfaat akan nampak pada diri seseorang manakala ia mengamalkan ilmunya, tidak suka disanjung atau merasa besar diri, semakin tawadhu’ (rendah hati), menjauh dari cinta kepemimpinan, ketenaran, cinta dunia, menghindar untuk mengaku berilmu, berburuk sangka terhadap dirinya dan baik sangka terhadap orang lain.” (Fadhlu ‘Ilmis Salaf ‘ala ‘Ilmil Kholaf hal. 56-57)
Juga termasuk perusak ilmu ialah mengandalkan logika dalam beragama. Sedangkan lawan dari sikap ini adalah tunduk kepada dalil-dalil Al-Qur’an was Sunnah dan memahami keduanya dengan pemahaman para Shahabat. Allah berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman janganlah kalian mendahului Allah dan Rasul-Nya, bertaqwalah kalian kepada Allah, karena sesungguhnya Dia Mahamendengar lagi Mahamengetahui.” (Al-Hujurot: 1)
Al-Imam Al-Auza’i (157 H) menasehatkan, “Wajib atas engkau berpegang dengan atsar (cara beragama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan para Shahabat) sekalipun orang-orang menolakmu. Dan hati-hatilah engkau dari pikiran-pikiran orang meskipun mereka menghiasinya dengan berbagai omongan. Karena perkara agama ini telah sangat jelas dengan atsar dan bila engkau beragama di atas dasar atsar itu maka engkau akan berjalan di atas “shirothol mustaqim” (yakni jalan yang lurus) .” (Al-Adabus Syar’iyyah 2/70)
Adapun kiat lain agar memudahkan seseorang dalam memahami ilmu selain muroja’ah (mengulang-ngulang) dan berdoa ialah dengan bertanya kepada para ahlinya. Allah berfirman, “Maka bertanyalah kalian kepada para ahlinya jika kalian tidak mengerti.” Yakni para ahli ilmu yang dikenal istiqomah di atas sunnah, lurus manhajnya dan baik aqidahnya, wa billahit tawfiq.
✍ Fikri Abul Hasan