Syaikh Sholih bin ‘Abdullah bin Hamd Al ‘Ushoimi –semoga Allah senantiasa menjaga dan memberkahi umur beliau– berkata bahwa ikhlas dalam belajar agama (ilmu diin) jika diniatkan:

1- Untuk menghilangkan kebodohan dari diri sendiri.

2- Untuk menghilangkan kebodohan dari orang lain.

3- Menghidupkan dan menjaga ilmu.

4- Mengamalkan ilmu yang telah dipelajari.

Contoh dari ulama masa silam (ulama salaf), mereka selalu khawatir luput dari sifat ikhlas ketika belajar. Mereka sudah berusaha mewujudkan ikhlas tersebut dalam hati mereka. Namun untuk mengklaim, telah ikhlas, itu amatlah sulit. Sehingga dalam rangka wara’ (kehati-hatian), mereka tidak menyebut diri mereka ikhlas.

Hisyam Ad Dastawa-iy rahimahullah berkata,

والله ما أستطيع أن أقول: إني ذهبت يوما أطلب الحديث أريد به وجه الله

“Sungguh aku tidak mampu berkata: aku telah pergi mencari hadits pada satu hari untuk mencari wajah Allah.”

Imam Ahmad ditanya, “Apakah engkau telah menuntut ilmu karena Allah?” Jawab beliau,

لله! عزيز, ولكنه شيء حبب إلي فطلبته

“Karena Allah! Itu perkara besar (agung), namun aku berkeinginan kuat untuk terus meraihnya.”

Oleh karenanya, siapa yang luput dari ikhlas, maka ia telah luput dari ilmu dan kebaikan yang banyak. Sehingga ikhlas inilah yang mesti diperhatikan dalam setiap perkara yang nampak ataupun yang samar, yang tersembunyi atau yang terlihat.

Karena itu, kita harus terus berusaha memperbaiki niat. Sufyan Ats Tsauriy berkata,

ما عالجت شيئا أشد علي من نيتي لأنها تتقلب عليَّ

“Aku tidaklah pernah mengobati sesuatu yang lebih berat daripada memperbaiki niatku. Karena niatku dapat terus berbolak-balik.”

Sulaiman Al Hasyimiy berkata, “Terkadang ketika aku mengucapkan satu hadits saja, aku membutuhkan niat. Setelah aku beralih pada hadits yang lain, berubah lagi niatku. Jadi, memang betul menyampaikan satu hadits saja butuh niat ikhlas karena Allah.”

Allah ta’ala berfirman:

وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ

“Tidaklah mereka diperintah melainkan agar mereka beribadah kepada Allah dengan mengikhlaskan agama hanya untuk-Nya.” (Al-Bayyinah: 5)

Ikhlas berarti memurnikan niat dalam menjalani ketaatan kepada Allah serta meninggalkan larangan-laranganNya. Ikhlas juga berarti menghambakan diri hanya kepada Allah semata dengan mengesakan-Nya dan meninggalkan segala bentuk penghambaan kepada makhluk. Meninggalkan penghambaan kepada manusia yang dikultuskan, keris yang dikeramatkan, pohon yang disakralkan, kerbau yang disucikan, batu yang diyakini bisa mendatangkan manfaat dan menolak mudharat.

Maka orang yang ikhlas tidaklah menargetkan dari amalan-amalannya kecuali hanya keridhaan Allah, bukan keridhaan manusia. Jika dia menyinta maka cintanya karena Allah, jika dia membenci maka bencinya karena Allah, apa yang dia lakukan dan apa yang dia tinggalkan semuanya diupayakan karena Allah.

Al-Imam Dzun Nun Al-Mishri berkata:

ثلاث من علامات الإخلاص استواء المدح والذم من العامة ، ونسيان رؤية الأعمال في الأعمال ، واقتضاء ثواب العمل في الآخرة

“Tiga perkara yang merupakan tanda ikhlasnya niat yaitu
1. menganggap sama pujian dan celaan orang awam
2. melupakan pengelihatan orang dalam beramal
3. mengharap dari amalannya pahala di akhirat.” (Al-Adzkar Al-Imam An-Nawawi 1/7)

Mencapai keikhlasan memang tak semudah ucapan lisan. Akan tetapi para Ulama telah mewariskan resep ikhlas kepada kita semua agar selamat dari perbudakan hawa nafsu, materi dan penghambaan terhadap dunia. Bagaimana caranya? Yaitu dengan memupus kesenangan hawa nafsu, ketamakan terhadap dunia dan mengupayakan kecintaan kepada akhirat. Bila ada orang yang merasa dirinya sudah ikhlas maka sungguh keikhlasannya itu masih butuh keikhlasan.

Semoga Allah beri kita hidayah untuk terus ikhlas dalam belajar dan beramal. Hanya Allah yang memberi taufik dan hidayah.

Info BUKU: http://pustaka.muslim.or.id/2016/03/ikhlas-ringan-diucapkan-berat-dipertahankan/

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *